Jumat, 08 November 2013

BAB V HUKUM PERBURUHAN

Hukum Perburuhan, Adalah seperangkat aturan dan norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan Industrial antara Pengusaha, di satu sisi, dan Pekerja atau buruh, di sisi yang lain. Tidak ada definisi baku mengenai hukum perburuhan di Indonesia. Buku-buku hukum Perburuhan didominasi oleh karya-karya Prof. Imam Soepomo. Guru besar hukum perburuhan di Universitas Indonesia. karyanya antara lain: Pengantar Hukum PerburuhanHukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja dan Hukum PerburuhanUndang-undang dan Peraturan-peraturan.
Belakangan, pasca-Reformasi Hukum Perburuhan karya-karya Prof. Imam Soepomo dianggap oleh sebagian kalangan sudah tidak relevan lagi. hal ini terutama oleh aktivis Serikat Buruh dan advokat perburuhan. Meskipun di perguruan tinggi yang ada Fakultas Hukumnya di seluruh Indonesia, masih menggunakan buku-buku karya Imam Soepomo sebagai rujukan wajib.
Sejarah Hukum Perburuhan
Pasca reformasi, hukum perburuhan memang mengalami perubahan luar biasa radikal. baik secara regulatif, politik, ideologis bahkan ekonomi Global. proses industrialisasi sebagai bagian dari gerak historis ekonomi politik suatu bangsa dalam perkembangannya mulai menuai momentumnya. hukum perburuhan, setidaknya menjadi peredam konflik kepentingan antara pekerja dan pengusaha sekaligus.
Sebagai Peredam Konflik, tentu ia tidak bisa diharapkan maksimal. Faktanya, berbagai hak normatif perburuhan yang mestinya tidak perlu lagi jadi perdebatan, namun kenyataannya Undang-undang memberi peluang besar untuk memperselisihkan hak-hak normatif tersebut. memang Undang-undang perburuhan juga mengatur aturan pidananya namun hal tersebut masih dirasa sulit oleh penegak hukumnya. Di samping seabrek kelemahan lain yang ke depan mesti segera dicarikan jalan keluarnya.
Masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto benar-benar membatasi Gerakan Serikat Buruh dan Serikat Pekerja. saat itu Organisasi Buruh dibatasi hanya satu organisasi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).
Pola penyelesaian hubungan Industrial pun dianggap tidak adil dan cenderung represif. TNI saat itu, misalnya, terlibat langsung bahkan diberikan wewenang untuk turut serta menjadi bagian dari Pola Penyelesaian hubungan Industrial. Saat itu, sejarah mencatat kasus-kasus buruh yang terkenal di Jawa Timur misalnya Marsinah dan lain-lain.
Hukum Perburuhan era Reformasi
Era Reformasi benar-benar membuka lebar arus demokrasi. Secara regulatif, dan Gradual hukum perburuhan kemudian menemukan momentumnya. hal tersebut terepresentasi dalam tiga paketUndang-Undang perburuhan antara lain: Undang-undang No. 21 tahun 2000 Tentang Serikat Buruh, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
                                                                       sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Perburuhan

UU Republik Indonesia No. 12 Th. 1948 yang akan diposting mengenai 1 bagian, yaitu bagian IV yang berisi :

BAGIAN IV
TENTANG WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT

Pasal 10
(1) Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Jikalau pekerjaan dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(2) Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat yang sedikitsedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam bekerja termaksud dalam ayat (1).
(3) Tiap-tiap minggu harus diadakan sedikit-sedikitnya satu hari istirahat.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh termaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam Peraturan Pemerintah dapat pula diadakan aturanaturan lebih lanjut tentang waktu kerja dan waktu istirahat untuk pekerjaan-pekerjaan atau perusahaanperusahaan yang tertentu yang dipandang perlu untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.

Pasal 11
Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan pada hari-hari raya, yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifatnya harus dijalankan terus pada hari-hari raya itu.

Pasal 12
(1) Dalam hal-hal, dimana pada suatu waktu atau biasanya pada tiap-tiap waktu atau dalam masa yang tertentu ada pekerjaan yang bertimbun-timbun yang harus lekas diselesaikan, boleh dijalankan pekerjaan dengan menyimpang dari yang ditetapkan dalam pasal 10 dan 11, akan tetapi waktu kerja itu tidak boleh lebih dari 54 jam seminggu.
Aturan ini tidak berlaku terhadap pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal termaksud dalam ayat (1) beserta syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.

Pasal 13
(1) Buruh Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haidh;
(2) Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.
(3) Waktu istirahat sebelum saat buruh wanita menurut perhitungan akan melahirkan anak, dapat diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan jikalau didalam suatu keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.
(4) Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) buruh wanita yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anaknya, jikalau hal itu harus dilakukan selama waktu-kerja.

Pasal 14
(1) Selain waktu istirahat seperti tersebut dalam pasal 10 dan 13, buruh yang menjalankan pekerjaan untuk satu atau beberapa majikan dari satu organisasi harus diberi idzin untuk beristirahat sedikit-sedikitnya dua minggu tiap-tiap tahun.
(2) Buruh yang telah bekerja 6 tahun berturut-turut pada suatu majikan atau beberapa majikan yang tergabung dalam satu organisasi mampunyai hak istirahat 3 bulan lamanya.

Pasal 15
(1) Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2), buruh harus diberi kesempatan yang sepatutnya untuk menjalankan kewajiban menurut agamanya.
(2) Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.

source :
http://dapp.bappenas.go.id/website/peraturan/file/pdf 

UU Republik Indonesia No. 12 Th. 1964 berisi :

Pasal 1
(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus-menerus;
b. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadat yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.

Pasal 2.
Bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasdi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah-satu organisasi buruh.

Pasal 3.
(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelsaian Perselisihan Perburuhan Daerah (Panitia Daerah), termaksud pada pasal 5 Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

Pasal 4.
Izin termaksud pada pasal 3 tidak diperlukan, bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan. Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.

Pasal 5.
(1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Derah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan kepada Panitia Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Permohonan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/ Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2, tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.

Pasal 6.
Panitia Darah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan.

Pasal 7.
(1) Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia Daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hal ini yang dimuat dalam Undangundang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan.
(2) Dalam hal Panitia Daerah atau Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan ganti
kerugian lain-lainnya.
(3) Penetapan besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur di dalam Peraturan Menteri Perburuhan.
(4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian tersebut di atas.

Pasal 8.
Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Daerah, atau pemberian izin dengan syarat, tersebut pada pasal 7 ayat (2), dalam waktu empat belas hari setelah putusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi buruh/atau organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat minta banding kepada Panitia Pusat.

Pasal 9.
Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan dalam tingkat bandingan.

Pasal 10.
Pemutusan hubungan kerja tanpa izin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.

Pasal 11.
Selama izin termaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.

Pasal 12.
Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi diperusahaan-perusahaan Swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai masa kerja lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.

source :
Opini :
Buruh sama seperti kita, punya tenaga yang terbatas dan yang pasti adalah memiliki rasa lelah. Namun di Indonesia, sering saya menemukan buruh tetap bekerja pada hari-hari raya atau bekerja melebihi waktu jam kerja yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Padahal buruh dilindungi oleh undang-undang. Buruh seharusnya bekerja selama 7 jam sehari dan tiap minggunya harus punya waktu libur sehari minimal. Dan masih banyak lagi.

Pada prakteknya, berbeda dengan apa yang tertera dalam undang-undang. Oleh karena itu, tak jarang kita menemukan para buruh berbondong-bondong berdemo menuntut kenaikan upahnya. Ya wajar saja sih agar sebanding dengan capeknya pekerjaan mereka... toh kenyataannya dikasih hati minta jantung, alias ngelunjak.

Kerap kali terjadi pemutusan hubungan kerja pada perusahaan swasta. Alasannya banyak, ada yang mengalami kemunduran sehingga harus mengurangi jumlah pekerja, ada yang gulung tikar, dan ada yang mem-PHK karyawannya dikarenakan masalah pribadi. Kasus seperti pada point yang terakhir mungkin terasa familiar di telinga kita.

Ya, seharusnya tidak ada yang melakukan tersebut. Hal tersebut sungguh tidak professional. Semua orang harus professional dalam bekerja. Tidak boleh mencampur adukan masalah internal dengan pekerjaan. Namun pada prakteknya, banyak yang semena-mena terhadap karyawannya karna sedang merasa di atas angin.

Hal ini jelas sangat bertentangan dengan Undang-undang karena sang pemimpin telah menghilangkan kesempatan kerja yang seharusnya didapatkan karyawan tersebut karna keahlian yang dimiliknya. Namun kesempatan itu hilang begitu saja hanya karna masalaha pribadi. yah manusiawi sajalah, semua manusia kan memang tak luput dari kesalahan karna kesempurnaan hanya milik Allah SWT. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar